Sabtu, 15 Desember 2018

CERPEN : Kamu Berbeda? Kamu Sering Ditindas? Sekarang Tutup Mulut Mereka dengan Prestasimu

Pastilah banyak tugas dari guru Bahasa Indonesia untuk membuat cerpen. Mau itu saat bangku SD, SMP ataupun SMA. Tetapi, karena saya pemalas dan kamu juga hehe, semua tugas cerpen itu tidak pernah aku buat sendiri tetapi ku comot aja dari blog-blog di internet. Tapi beda dengan yang kali ini, aku buat cerpen karya sendiri woi hahaha. Nah, saat itu adalah masa-masa penuh dengan kasus diskriminasi, sampai aku terinspirasi untuk membuat sebuah cerita pendek sekalian memenuhi tugas Bahasa Indonesia tentunya, yang mana cerpen ini adalah pikiran saya yang sering mengganjal ketika tidak dapat berbuat apa-apa saat menyaksikan kasus diskriminasi, jadi ku tuangkan disini aja. Karena ini adalah cerpen satu-satunya yang saya buat selama saya menjadi pelajar, huhu, maka kamu adalah orang yang sangat spesial untuk membacanya. Cerpen ini mungkin banyak kekurangannya ya tetapi yang penting adalah dengan mempublikasi cerpen ini semoga aku dapat mengurangi kasus diskriminasi. Terimakasih...

Sebelumnya berikut ini adalah salah satu bentuk kasus diskriminasi yang perlu menjadi perhatian kita.


                                  ******                                 
By : Johannes Pakpahan
        
Seusai mandi Jaco rebahan di tempat tidurnya, ia mengambil handphone dan membuka aplikasi media sosial yang kini sangat populer. ”Si Mata Minimalis Gagal Jadi Gubernur Malah Dibui 2 Tahun”, setiap buka media sosial kenapa berita ini lagi yang muncul? ”ucapnya dalam hati”. Ia menutup aplikasi itu dan mencampakkan handphonenya ke kasur. Ia bangun dan melihat dirinya berdiri didepan cermin. Kalau lihat berita ini setiap hari yang ada malah tambah bodoh saya. Siapa yang bodoh?, ”ucap adiknya yang setengah badannya tampak muncul dari balik pintu kamarnya. Tidak ada, kamu tidak sopan cepat pergi sebelum abangmu marah,”Ibunya muncul dari belakang dan menarik adik Jaco menjauh dari pintu kamar”. Jangan suka bicara sendiri lama-lama bisa jadi gila, ”ucap adiknya dengan nada mengejek sebelum pergi meninggalkan pintu kamar”. Jaco hanya tersenyum kecil, lalu ia kembali merebahkan tubuhnya di kasur dan memutar musik dari spotify. Musik itu didengarnya dengan memakai headset sambil mengingat bahwa disekolahnya juga ada si mata minimalis yang nasibnya ada yang sama dengan orang yang dimaksudkan dalam berita miris tadi.
Musik itu membuatnya hanyut dalam  lamunannya. Jaco tak habis pikir bagaimana bisa semua teman disekolahnya selalu bersikap diskriminasi. Apakah semua temannya sudah kehilangan akal? Pertanyaan semacam itu terus muncul dalam pikirannya. Jaco adalah seseorang yang sangat menolak segala bentuk diskriminasi bahkan  ia bercita-cita mendirikan suatu organisasi yang dapat mengirimkan pesan-pesan untuk menghapus segala tindak diskriminasi.
Acong adalah seorang anak keturunan Cina, ayah dan ibunya asli keturunan Cina namun berkebangsaan Indonesia dan sangat bangga menjadi warga Indonesia. Acong sangat suka menulis puisi, tetapi ia tidak suka jika puisinya dibaca oleh orang lain. Ia bersekolah di SMA Erlangga sama dengan Jaco ,yang mana semua siswa sekolah ini sangat mengincar menjadi siswa pertukaran pelajar ke London.
Acong sangat sering mendapatkan perlakuan diskriminasi dari teman-teman sekelasnya di sekolah, bahkan guru-guru juga ikut berbuat demikian kepadanya. Ia sering dianggap berbeda dari yang lainnya. Walaupun sering mendapatkan penindasan ia tidak melawan sama sekali. Ia seakan-akan sudah kenyang dengan hal ini.
Bel Istirahat berbunyi, Jaco menyandarkan tubuhnya di kursi wasit sambil menonton siswa yang  bermain bola voli. Sesekali matanya berkeliling mengamati aktivitas orang-orang. Tiba-tiba matanya tertahan pada seseorang yang sedang asyik duduk membaca buku di bawah pohon, yang bukan lain adalah Acong si mata minimalis. Disana ada dua siswa tegap yang berdiri, yang satu memukul-mukul kepala anak itu dengan buku, yang satunya lagi hanya tertawa seakan menikmati lelucon receh. Jaco melihat mereka,  karena sudah puas memukuli Acong maka kedua orang itu meninggalkan Acong. Acong merapikan rambutnya. Jaco berlari keluar lapangan dan menghampiri Acong. Acong malah membuang wajahnya. Jaco menarik bahunya. Apakah kamu takut dengan saya sehingga tidak berani menatap saya?, ”ucap Jaco”. Acong masih diam dan belum berani menatap wajah Jaco. Saya tahu kamu tidak begitu baik diterima oleh siswa-siswi disekolah ini, tapi saya ingin menghancurkan segala bentuk diskriminasi di sekolah ini, ”ucap Jaco lantang”. Acong menatap Jaco. Apakah kamu memihak saya? Saya juga ingin segala bentuk diskriminasi terhadap saya berakhir, ”ucap Acong”. Permainan bola voli selesai,teman-teman Jaco datang dan  menghampiri mereka berdua. Jangan lama-lama disini nanti mata kamu bisa jadi minimalis, ”ujar salah satunya dan yang lain ikut tertawa dan meninggalkan mereka”. Saya ingin kamu jadi ketua OSIS!, karena dengan cara itu mungkin bisa menghapus segala  bentuk diskriminasi disekolah ini, ”ucap Jaco”. Ini tidak lucu, bukan hanya semua siswa disini tak acuh kepada saya tapi semua guru juga, ”balas Acong”. Separah itukah? Saya akan berusaha agar kita dapat formulir pendaftaran ketua OSIS untukmu, ”ucap Jaco”. Sebelumnya terimakasih, kamu sangat peduli dengan saya, tetapi ini mustahil karena formulir itu sama guru,”ucap Acong”. Tenang saja saya akan urus ," Jaco tersenyum lebar".
Keesokan hari Jaco dan Acong pergi ke ruangan pak Budi. Selamat pagi pak Budi, saya ingin mengambil formulir pendaftaran ketua OSIS, ”ucap Acong”. Wah, Jaco apakah kamu ingin menjadi ketua OSIS? Itu ide yang sangat bagus dan saya akan mendukungmu, ”ucap Pak Budi”. Bukan Pak, tetapi Acong yang ingin menjadi ketua OSIS, ”timpal Jaco”. Tidak akan bisa siswa seperti dia menjadi ketua OSIS di sekolah ini, ada-ada saja kamu, ”Pak Budi tertawa”. Tapi apa alasannya Pak? ”tanya Jaco”. Dia berbeda dengan kita, ”balas Pak Budi sambil berjalan meninggalkan ruangan”. Mereka mengejar Pak Budi. Tunggu Pak, saya akan tetap berusaha agar Acong menjadi calon Ketua OSIS, ”ucap Jaco dengan yakin”. Baik, karena kamu tetap bersikukuh sekarang ambil formulirnya di meja saya dengan syarat tambahan calon ketua OSIS harus menjadi anggota aktif di salah satu organisasi disekolah ini, ”ucap Pak Budi”. Tapi Pak syarat itu tidak tertera sebagai persyaratan, ”timpal Acong”. Bukan, syarat itu khusus untuk kamu, kamu kan berbeda dari kita, syaratnya juga harus berbeda dong,”tegas Pak Budi”.
Sejak dari awal masuk sekolah saya sudah coba mendaftar agar menjadi anggota suatu organisasi tetapi tidak ada satupun organisasi yang menerima saya, bahkan mereka menganggap saya sebagai aib. Sudahlah saya mundur saja tidak ada pilihan lain, ”ucap Acong”. Saya sudah menerkanya dari awal, tapi saya punya ide bagaimana kalau kita sendiri yang membentuk organisasi,”ucap Jaco sambil bersemangat”.
Besok harinya, Jaco dan Acong kembali menjumpai Pak Budi. Selamat pagi pak, saya ingin membentuk organisasi baru di SMA Erlangga ini, ”ucap Jaco”. Kamu kira segampang itu membentuk organisasi di sekolah ini, sudahlah urungkan  saja niat kamu, carilah kegiatan yang lebih berguna,”ucap Pak Budi”. Tenang Pak, kami sudah  menyiapkan  proposalnya dan  keperluan yang lain kami  tanggung sendiri, ”ucap Jaco”. Baiklah, ”jawab Pak Budi dengan enteng”. Pak Budi kemudian menandatangani proposal tersebut dan terbentuklah organisasi kecil bernama “Anti-Diskriminasi” dengan motto “Bhineka Tunggal Ika” yang hanya beranggotakan mereka berdua.
Sudah 2 bulan organisasi ini berjalan. Dengan Organisasi Anti-Diskriminasi ini Jaco dan Acong  mengirimkan banyak pesan  untuk kepada semua siswa-siswi agar tidak saling mendiskriminasi satu sama lain. Mereka membuat pesan bahwa Indonesia sangat beragam terdiri dari berbagai macam suku,agama,ras,budaya,dan bahasa tetapi mereka satu yaitu bangsa Indonesia. Tapi tak banyak tanggapan dari siswa-siswi maupun guru disekolah itu. Padahal mereka sudah berusaha agar sekolah mereka jauh dari diskriminasi antar siswanya.
Jaco menutup pintu kamarnya dengan keras. Apakah diskriminasi sudah menjadi budaya?Mengapa hal ini sangat lumrah terjadi seakan-akan  tak ada rasa canggung untuk menghina seseorang. Siapakah orangnya yang membuat diskriminasi ini menjadi budaya,siapa?, ”teriak Jaco didepan cermin dikamarnya”. 
Sehari sebelum pemilihan Ketua OSIS tak sengaja Jaco berjumpa Acong di Perpustakaan. Apa yang sedang kamu  lakukan Acong?, ”tanya Jaco”. Saya sedang menulis puisi, saya sangat suka menulis puisi mungkin juga itu sudah menjadi hobi saya, ”jawab Acong”. Jaco menarik kertas yang isinya puisi yang baru saja ditulis Acong, tetapi Acong tidak dapat mengelak. Wah, puisi ini bagus sekali. Di Puisi ini kamu menulis bahwa diskriminasi hanya membuat seseorang merasa rendah dan hina, pesan dari puisi yang kamu tulis sangat bagus coba kamu ikut kompetisi pasti akan menang,”tantang Jaco”. Tidak, puisi buruk ini tidak akan bisa menang kamu terlalu bersemangat, ”balas Acong”. Lain kali jangan pernah baca puisi saya, ”ucap Acong dengan nada marah”. Acong membuang puisinya ketempat sampah.
Pemilihan Ketua OSIS pun dimulai, masing-masing calon menyebutkan visi dan misinya. Naiklah Acong kedepan podium. Salam satu Indonesia, saya Acong Sanjaya, saya selaku calon ketua OSIS dengan visi yaitu mewujudkan siswa-siswi pancasilais di sekolah ini, adapun  misi saya yaitu menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap siswa-siswi di sekolah ini, ”ucap Acong percaya diri”. Semua siswa diam sejenak lalu gemuruh tawa menghujani lapangan. Acong pun turun dari podium sambil menahan malu, semua siswa mengacungkan jari jempol kebawah untuknya. Ia bingung apa yang salah pada visi dan misinya. 
Pemilihan ketua OSIS pun selesai. Jumlah suara sudah diakumulasikan tapi tak satupun  suara memilih Acong, hingga suara terakhir hanya satu suara untuknya yang sudah dipastikan itu adalah Jaco yang memilihnya. Takdir haruslah dipasrahkan dan pasrah haruslah jadi takdir bagi Acong. Ia sangat kecewa dan sangat terpukul dengan hasilnya, Ia tidak mengira akan jauh lebih buruk . Jaco menghampiri Acong, sudahlah kita cari cara lain, ”ucap Jaco menenangkan”. Tapi apa? rencana baik kita gagal, ”balas Acong”. Kemarin setelah kamu membuang puisi yang bagus itu saya pungut kembali, ”ucap Jaco”. Itu hanyalah sebuah puisi buruk, seperti hari ini sangat buruk Jac, tapi untuk apa kamu memungutnya kembali?,”tanya Acong”. Maaf  sebelumnya puisi kamu saya tulis kembali dan saya kirimkan  ke kompetisi yang diselenggarakan oleh Kemendikbud atas nama kamu, ”ucap Jaco”. Wajah Acong memerah tanda penuh luapan emosi. Kalau puisi kamu menang saya yakin pesan dari puisi itu akan membuat sikap diskriminasi akan berkurang, terutama untuk sekolah kita, kamu tidak akan ditindas lagi, ”ucap Jaco”. Acong mengepalkan tangannya dan ingin meninju apapun yang berada didekatnya. Seketika luapan emosi itu padam lalu Acong meninggalkan Jaco. Jaco merasa sudah putus asa keinginannya yang ingin menjadikan sekolahnya bebas dari sikap diskriminasi dan hatinya dilema ketika ia melihat Acong sangat marah padanya.
Sudah sebulan Jaco dan Acong tidak saling komunikasi. Organisasi Anti-Diskriminasi pun sudah tidak terurus. Pak Budi memanggil Jaco dan Acong  ke ruangannnya. Bapak ingin menghapus Organisasi Anti-Diskriminasi, ”ucap Pak Budi”. Tidak ada reaksi diantara keduanya. Baiklah, organisasi ini resmi dihapus dari struktur keorganisasian sekolah ini, karena sekolah ini tidak membutuhkan organisasi yang tidak terurus ”ucap Pak Budi”. Jaco dan Acong pun meninggalkan ruangan Pak Budi. Dalam hati mereka sangat bersedih, mereka sesekali saling menatap kemudian membuang muka lagi. Tampak kekecewaan dari raut muka mereka yang tak dapat ditutupi.
Sebulan kemudian dikirimkanlah sebuah surat ke sekolah mereka yang berisi pengumuman bahwa siswa dari sekolah  itu atas nama Acong Sanjaya berhasil memenangkan kompetisi puisi oleh Kemendikbud. Pemenangnya pun mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar ke London yang mana semua siswa SMA Erlangga ssangat mengincar beasiswa itu. Surat itu pun sampai ditangan Pak Budi. Ia memanggil Acong ke ruangannya. Acong selamat kamu memenangkan kompetisi puisi oleh Kemendikbud, sehingga kamu terpilih pertukaran pelajar ke London dan bapak bangga pada kamu,”ucap Pak Budi dan raut mukanya sangat berbeda ketika menatap Acong seperti biasanya”. Benarkah Pak? terimakasih banyak Pak,”ucap Acong”. Seketika ia teringat bahwa Jaco lah yang mengirim puisi itu ke Kemendikbud. Lalu, Acong berjalan menuju ke kelas Jaco, tetapi saat ia jalan semua orang yang biasanya tak acuh padanya kini seakan berdecak kagum ketika ia melewatinya, bahkan ada yang juga menyapanya.
Jac, lihat ini, ”Acong menunjukkan surat kemenangannya”. Kamu tidak marah pada saya?, ”tanya Jaco”. Tentu  tidak lagi, ”ucap Acong”. Aku turut bangga pada kamu,”ucap Jaco”. Sekarang tidak ada lagi yang berbuat diskriminasi kepada saya, mereka malah kagum dengan saya. Kita telah membuktikannya,”ucap Acong". Kita berhasil Cong, "ucap Jaco sambil terharu".
Acong pun pamit kepada Jaco untuk melanjutkan beasiswanya ke London. Lalu Pak Budi kembali membentuk kembali Organisasi Anti-Diskriminasi dan diketuai oleh Jaco, kini anggotanya sudah ratusan siswa banyak diantaranya terinspirasi oleh Acong.

19 komentar:

  1. Sangat bermanfaat, terus berkarya

    BalasHapus
  2. Sangat mantap ,cukup mantap ,mantap kale

    BalasHapus
  3. Mengapa Acong tidak diubah menjadi Acoy saja
    Tolong kedepannya buat ditindas tentang kejombloan :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih sarannya tapi pak saya jomblo juga saya tidak sanggup menulis cerita tentang diri saya sendiri :(

      Hapus
  4. Cerpennya sangat menarik, menggambarkan kondisi kita saat ini, yang mana banyak terjadi intoleransi dan diskriminasi yg menimbulkan ketidaknyamanan dan bahkan kecurigaan satu dengan lainnya. Ini sekaligus juga menyadarkan kita utk lbh membangun kebhinekaan antar sesama, pesan moralnya sampai. Baguss!

    BalasHapus
  5. Teruslah berkarya dan biarkan omongan negatif berubah menjadi tepuk tangan yang paling kencang nantinya

    BalasHapus
  6. Setiap orang dilahirkan untuk disayangi, bukan untuk dicaci

    BalasHapus
  7. Cerita yang sangat menarik dan menginspirasi agar. Kita dapat menjadi individu yang menghargai orang lain dan tidak diskriminatif

    BalasHapus
  8. Sangatlah menginspirasi
    Trus berkarya
    Anda berbakat

    BalasHapus

CERPEN : Kamu Berbeda? Kamu Sering Ditindas? Sekarang Tutup Mulut Mereka dengan Prestasimu

Pastilah banyak tugas dari guru Bahasa Indonesia untuk membuat cerpen. Mau itu saat bangku SD, SMP ataupun SMA. Tetapi, karena saya pemalas...