Pastilah banyak tugas dari guru Bahasa Indonesia untuk membuat cerpen. Mau itu saat bangku SD, SMP ataupun SMA. Tetapi, karena saya pemalas dan kamu juga hehe, semua tugas cerpen itu tidak pernah aku buat sendiri tetapi ku comot aja dari blog-blog di internet. Tapi beda dengan yang kali ini, aku buat cerpen karya sendiri woi hahaha. Nah, saat itu adalah masa-masa penuh dengan kasus diskriminasi, sampai aku terinspirasi untuk membuat sebuah cerita pendek sekalian memenuhi tugas Bahasa Indonesia tentunya, yang mana cerpen ini adalah pikiran saya yang sering mengganjal ketika tidak dapat berbuat apa-apa saat menyaksikan kasus diskriminasi, jadi ku tuangkan disini aja. Karena ini adalah cerpen satu-satunya yang saya buat selama saya menjadi pelajar, huhu, maka kamu adalah orang yang sangat spesial untuk membacanya. Cerpen ini mungkin banyak kekurangannya ya tetapi yang penting adalah dengan mempublikasi cerpen ini semoga aku dapat mengurangi kasus diskriminasi. Terimakasih...
Sebelumnya berikut ini adalah salah satu bentuk kasus diskriminasi yang perlu menjadi perhatian kita.
******
By : Johannes Pakpahan
Seusai mandi Jaco rebahan di tempat tidurnya, ia mengambil handphone dan membuka
aplikasi media sosial yang kini sangat populer. ”Si Mata Minimalis Gagal Jadi
Gubernur Malah Dibui 2 Tahun”, setiap buka media sosial kenapa berita ini lagi yang muncul? ”ucapnya dalam hati”. Ia
menutup aplikasi itu dan mencampakkan handphonenya ke kasur. Ia bangun dan
melihat dirinya berdiri didepan cermin. Kalau lihat berita ini setiap hari yang
ada malah tambah bodoh saya. Siapa yang bodoh?, ”ucap adiknya yang setengah
badannya tampak muncul dari balik pintu kamarnya. Tidak ada, kamu tidak sopan
cepat pergi sebelum abangmu marah,”Ibunya muncul dari belakang dan menarik adik Jaco menjauh dari pintu kamar”. Jangan suka bicara sendiri lama-lama bisa jadi gila, ”ucap
adiknya dengan nada mengejek sebelum pergi meninggalkan pintu kamar”. Jaco hanya tersenyum kecil, lalu ia kembali merebahkan
tubuhnya di kasur dan memutar musik dari spotify. Musik itu didengarnya
dengan memakai headset sambil mengingat bahwa disekolahnya juga ada si mata
minimalis yang nasibnya ada yang sama dengan orang yang dimaksudkan dalam
berita miris tadi.
Musik
itu membuatnya hanyut dalam
lamunannya. Jaco tak habis pikir bagaimana bisa semua teman
disekolahnya selalu bersikap diskriminasi. Apakah semua temannya sudah
kehilangan akal? Pertanyaan semacam itu terus muncul dalam pikirannya. Jaco adalah seseorang yang sangat menolak segala bentuk diskriminasi bahkan ia bercita-cita mendirikan suatu organisasi
yang dapat mengirimkan pesan-pesan untuk menghapus segala tindak diskriminasi.
Acong
adalah seorang anak keturunan Cina, ayah dan ibunya asli keturunan Cina namun
berkebangsaan Indonesia dan sangat bangga menjadi warga Indonesia. Acong sangat suka menulis puisi, tetapi ia tidak suka
jika puisinya dibaca oleh orang lain. Ia bersekolah di SMA Erlangga sama dengan
Jaco ,yang mana semua siswa sekolah ini sangat mengincar menjadi siswa pertukaran
pelajar ke London.
Acong
sangat sering mendapatkan perlakuan diskriminasi dari teman-teman sekelasnya di
sekolah, bahkan guru-guru juga ikut berbuat demikian kepadanya. Ia sering
dianggap berbeda dari yang lainnya. Walaupun sering mendapatkan penindasan ia tidak
melawan sama sekali. Ia seakan-akan sudah kenyang dengan hal ini.
Bel
Istirahat berbunyi, Jaco menyandarkan tubuhnya di kursi wasit sambil menonton
siswa yang bermain bola voli. Sesekali
matanya berkeliling mengamati aktivitas orang-orang. Tiba-tiba matanya tertahan
pada seseorang yang sedang asyik duduk membaca buku di bawah pohon, yang bukan lain adalah Acong si mata
minimalis. Disana ada dua siswa tegap yang berdiri, yang satu memukul-mukul kepala anak
itu dengan buku, yang satunya lagi hanya tertawa seakan menikmati lelucon receh. Jaco melihat mereka, karena sudah puas memukuli Acong maka kedua orang itu meninggalkan Acong. Acong
merapikan rambutnya. Jaco berlari keluar lapangan dan menghampiri Acong. Acong malah membuang wajahnya. Jaco menarik bahunya. Apakah kamu takut dengan
saya sehingga tidak berani menatap saya?, ”ucap Jaco”. Acong masih diam dan belum
berani menatap wajah Jaco. Saya tahu kamu tidak begitu baik
diterima oleh siswa-siswi disekolah ini, tapi saya ingin menghancurkan segala
bentuk diskriminasi di sekolah ini, ”ucap Jaco lantang”. Acong menatap Jaco. Apakah
kamu memihak saya? Saya juga ingin segala bentuk diskriminasi terhadap saya
berakhir, ”ucap Acong”. Permainan bola voli selesai,teman-teman Jaco datang dan menghampiri mereka berdua. Jangan lama-lama disini nanti mata kamu bisa jadi
minimalis, ”ujar salah satunya dan yang lain ikut tertawa dan meninggalkan mereka”. Saya
ingin kamu jadi ketua OSIS!, karena dengan cara itu mungkin bisa menghapus
segala bentuk diskriminasi disekolah
ini, ”ucap Jaco”. Ini tidak lucu, bukan
hanya semua siswa disini tak acuh kepada saya tapi semua guru juga, ”balas
Acong”. Separah itukah? Saya akan berusaha agar kita dapat formulir pendaftaran
ketua OSIS untukmu, ”ucap Jaco”. Sebelumnya terimakasih, kamu sangat peduli
dengan saya, tetapi ini mustahil karena formulir itu sama guru,”ucap Acong”. Tenang saja saya akan urus ," Jaco tersenyum lebar".
Keesokan
hari Jaco dan Acong pergi ke ruangan pak Budi. Selamat pagi pak Budi, saya
ingin mengambil formulir pendaftaran ketua OSIS, ”ucap Acong”. Wah, Jaco apakah
kamu ingin menjadi ketua OSIS? Itu ide yang sangat bagus dan saya akan
mendukungmu, ”ucap Pak Budi”. Bukan Pak, tetapi Acong yang ingin menjadi ketua
OSIS, ”timpal Jaco”. Tidak akan bisa siswa seperti dia menjadi ketua OSIS di
sekolah ini, ada-ada saja kamu, ”Pak Budi tertawa”. Tapi apa alasannya Pak? ”tanya Jaco”. Dia
berbeda dengan kita, ”balas Pak Budi sambil berjalan meninggalkan ruangan”. Mereka
mengejar Pak Budi. Tunggu Pak, saya akan tetap berusaha agar Acong menjadi calon
Ketua OSIS, ”ucap Jaco dengan yakin”. Baik, karena kamu tetap bersikukuh
sekarang ambil formulirnya di meja saya dengan syarat tambahan calon ketua OSIS
harus menjadi anggota aktif di salah satu organisasi disekolah ini, ”ucap Pak Budi”. Tapi
Pak syarat itu tidak tertera sebagai persyaratan, ”timpal Acong”. Bukan, syarat itu khusus
untuk kamu, kamu kan berbeda dari kita, syaratnya juga harus berbeda dong,”tegas
Pak Budi”.
Sejak dari awal masuk sekolah saya sudah coba mendaftar agar menjadi anggota suatu organisasi tetapi tidak ada
satupun organisasi yang menerima saya, bahkan mereka menganggap saya sebagai
aib. Sudahlah saya mundur saja tidak ada pilihan lain, ”ucap Acong”. Saya sudah
menerkanya dari awal, tapi saya punya ide bagaimana kalau kita sendiri yang
membentuk organisasi,”ucap Jaco sambil bersemangat”.
Besok
harinya, Jaco dan Acong kembali menjumpai Pak Budi. Selamat pagi pak, saya ingin
membentuk organisasi baru di SMA Erlangga ini, ”ucap Jaco”. Kamu kira segampang itu membentuk organisasi di sekolah ini, sudahlah urungkan saja niat kamu, carilah kegiatan yang lebih
berguna,”ucap Pak Budi”. Tenang Pak, kami sudah
menyiapkan proposalnya dan keperluan yang lain kami tanggung sendiri, ”ucap Jaco”. Baiklah, ”jawab
Pak Budi dengan enteng”. Pak Budi kemudian menandatangani proposal tersebut dan
terbentuklah organisasi kecil bernama “Anti-Diskriminasi” dengan motto “Bhineka Tunggal
Ika” yang hanya beranggotakan mereka berdua.
Sudah
2 bulan organisasi ini berjalan. Dengan Organisasi Anti-Diskriminasi ini Jaco dan
Acong mengirimkan banyak pesan untuk kepada semua siswa-siswi agar tidak
saling mendiskriminasi satu sama lain. Mereka membuat pesan bahwa Indonesia
sangat beragam terdiri dari berbagai macam suku,agama,ras,budaya,dan bahasa tetapi mereka satu yaitu bangsa Indonesia. Tapi
tak banyak tanggapan dari siswa-siswi maupun guru disekolah itu. Padahal mereka sudah berusaha agar
sekolah mereka jauh dari diskriminasi antar siswanya.
Jaco menutup pintu kamarnya dengan keras. Apakah diskriminasi sudah menjadi
budaya?Mengapa hal ini sangat lumrah terjadi seakan-akan tak ada rasa canggung untuk menghina
seseorang. Siapakah orangnya yang membuat diskriminasi ini menjadi
budaya,siapa?, ”teriak Jaco didepan cermin dikamarnya”.
Sehari sebelum pemilihan Ketua OSIS tak sengaja Jaco berjumpa Acong di Perpustakaan. Apa yang sedang kamu lakukan Acong?, ”tanya Jaco”. Saya sedang menulis puisi, saya sangat suka menulis puisi mungkin juga itu sudah menjadi hobi saya, ”jawab Acong”. Jaco menarik kertas yang isinya puisi yang baru saja ditulis Acong, tetapi Acong tidak dapat mengelak. Wah, puisi ini bagus sekali. Di Puisi ini kamu menulis bahwa diskriminasi hanya membuat seseorang merasa rendah dan hina, pesan dari puisi yang kamu tulis sangat bagus coba kamu ikut kompetisi pasti akan menang,”tantang Jaco”. Tidak, puisi buruk ini tidak akan bisa menang kamu terlalu bersemangat, ”balas Acong”. Lain kali jangan pernah baca puisi saya, ”ucap Acong dengan nada marah”. Acong membuang puisinya ketempat sampah.
Sehari sebelum pemilihan Ketua OSIS tak sengaja Jaco berjumpa Acong di Perpustakaan. Apa yang sedang kamu lakukan Acong?, ”tanya Jaco”. Saya sedang menulis puisi, saya sangat suka menulis puisi mungkin juga itu sudah menjadi hobi saya, ”jawab Acong”. Jaco menarik kertas yang isinya puisi yang baru saja ditulis Acong, tetapi Acong tidak dapat mengelak. Wah, puisi ini bagus sekali. Di Puisi ini kamu menulis bahwa diskriminasi hanya membuat seseorang merasa rendah dan hina, pesan dari puisi yang kamu tulis sangat bagus coba kamu ikut kompetisi pasti akan menang,”tantang Jaco”. Tidak, puisi buruk ini tidak akan bisa menang kamu terlalu bersemangat, ”balas Acong”. Lain kali jangan pernah baca puisi saya, ”ucap Acong dengan nada marah”. Acong membuang puisinya ketempat sampah.
Pemilihan
Ketua OSIS pun dimulai, masing-masing calon menyebutkan visi dan misinya. Naiklah
Acong kedepan podium. Salam satu Indonesia, saya Acong Sanjaya, saya selaku calon ketua OSIS dengan visi yaitu mewujudkan siswa-siswi pancasilais di sekolah ini, adapun misi saya yaitu
menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap siswa-siswi di sekolah ini, ”ucap
Acong percaya diri”. Semua siswa diam sejenak lalu gemuruh tawa menghujani lapangan. Acong pun turun dari podium
sambil menahan malu, semua siswa mengacungkan jari jempol kebawah untuknya. Ia bingung apa
yang salah pada visi dan misinya.
Pemilihan ketua OSIS pun selesai. Jumlah suara
sudah diakumulasikan tapi tak satupun
suara memilih Acong, hingga suara terakhir hanya satu suara untuknya yang
sudah dipastikan itu adalah Jaco yang memilihnya. Takdir
haruslah dipasrahkan dan pasrah haruslah jadi takdir bagi Acong. Ia sangat kecewa dan sangat
terpukul dengan hasilnya, Ia tidak
mengira akan jauh lebih buruk . Jaco menghampiri Acong, sudahlah kita cari cara
lain, ”ucap Jaco menenangkan”. Tapi apa? rencana baik kita gagal, ”balas
Acong”. Kemarin setelah kamu membuang puisi yang bagus itu saya pungut
kembali, ”ucap Jaco”. Itu hanyalah sebuah puisi buruk, seperti hari ini sangat buruk Jac, tapi untuk apa kamu
memungutnya kembali?,”tanya Acong”. Maaf
sebelumnya puisi kamu saya tulis kembali dan saya kirimkan ke kompetisi yang diselenggarakan oleh
Kemendikbud atas nama kamu, ”ucap Jaco”. Wajah Acong memerah tanda penuh luapan
emosi. Kalau puisi kamu menang saya yakin pesan dari puisi itu akan membuat
sikap diskriminasi akan berkurang, terutama untuk sekolah kita, kamu tidak akan
ditindas lagi, ”ucap Jaco”. Acong mengepalkan tangannya dan ingin meninju apapun yang berada didekatnya. Seketika luapan emosi itu padam lalu Acong meninggalkan Jaco. Jaco merasa sudah
putus asa keinginannya yang ingin menjadikan sekolahnya bebas dari sikap
diskriminasi dan hatinya dilema ketika ia melihat Acong sangat marah padanya.
Sudah
sebulan Jaco dan Acong tidak saling komunikasi. Organisasi Anti-Diskriminasi pun sudah
tidak terurus. Pak Budi memanggil Jaco dan Acong ke ruangannnya. Bapak ingin menghapus
Organisasi Anti-Diskriminasi, ”ucap Pak Budi”. Tidak ada reaksi diantara keduanya. Baiklah, organisasi ini resmi dihapus dari struktur keorganisasian sekolah ini, karena
sekolah ini tidak membutuhkan organisasi yang tidak terurus ”ucap Pak Budi”. Jaco dan Acong pun meninggalkan ruangan Pak Budi. Dalam hati mereka sangat
bersedih, mereka sesekali saling menatap kemudian membuang muka lagi. Tampak
kekecewaan dari raut muka mereka yang tak dapat ditutupi.
Sebulan
kemudian dikirimkanlah sebuah surat ke sekolah mereka yang berisi pengumuman
bahwa siswa dari sekolah itu atas
nama Acong Sanjaya berhasil memenangkan
kompetisi puisi oleh Kemendikbud. Pemenangnya pun mendapatkan beasiswa pertukaran
pelajar ke London yang mana semua siswa SMA Erlangga ssangat mengincar beasiswa itu. Surat itu pun sampai ditangan Pak Budi. Ia memanggil Acong ke
ruangannya. Acong selamat kamu memenangkan kompetisi puisi oleh Kemendikbud, sehingga kamu terpilih pertukaran pelajar ke London dan bapak bangga pada kamu,”ucap Pak
Budi dan raut mukanya sangat berbeda ketika menatap Acong seperti biasanya”. Benarkah Pak? terimakasih banyak Pak,”ucap Acong”. Seketika ia teringat bahwa Jaco lah yang mengirim puisi itu ke Kemendikbud. Lalu, Acong berjalan menuju ke kelas Jaco, tetapi saat ia jalan semua orang yang biasanya tak
acuh padanya kini seakan berdecak kagum
ketika ia melewatinya, bahkan ada yang juga menyapanya.
Jac, lihat
ini, ”Acong menunjukkan surat kemenangannya”. Kamu tidak marah pada saya?, ”tanya
Jaco”. Tentu tidak lagi, ”ucap Acong”. Aku
turut bangga pada kamu,”ucap Jaco”. Sekarang tidak ada lagi yang berbuat
diskriminasi kepada saya, mereka malah kagum dengan saya. Kita telah membuktikannya,”ucap
Acong". Kita berhasil Cong, "ucap Jaco sambil terharu".
Acong pun pamit kepada Jaco untuk melanjutkan beasiswanya ke London. Lalu Pak Budi kembali membentuk kembali Organisasi Anti-Diskriminasi dan diketuai oleh Jaco, kini anggotanya sudah ratusan siswa banyak diantaranya terinspirasi oleh Acong.
Acong pun pamit kepada Jaco untuk melanjutkan beasiswanya ke London. Lalu Pak Budi kembali membentuk kembali Organisasi Anti-Diskriminasi dan diketuai oleh Jaco, kini anggotanya sudah ratusan siswa banyak diantaranya terinspirasi oleh Acong.
Sangat bermanfaat, thank u next
BalasHapusBaguss wow
BalasHapusBagus sekali jopak,lanjutkan
BalasHapusSangat bermanfaat, terus berkarya
BalasHapusSangat mantap ,cukup mantap ,mantap kale
BalasHapusMengapa Acong tidak diubah menjadi Acoy saja
BalasHapusTolong kedepannya buat ditindas tentang kejombloan :(
Terimakasih sarannya tapi pak saya jomblo juga saya tidak sanggup menulis cerita tentang diri saya sendiri :(
HapusCerpennya sangat menarik, menggambarkan kondisi kita saat ini, yang mana banyak terjadi intoleransi dan diskriminasi yg menimbulkan ketidaknyamanan dan bahkan kecurigaan satu dengan lainnya. Ini sekaligus juga menyadarkan kita utk lbh membangun kebhinekaan antar sesama, pesan moralnya sampai. Baguss!
BalasHapuskeren jooo
BalasHapusTeruslah berkarya dan biarkan omongan negatif berubah menjadi tepuk tangan yang paling kencang nantinya
BalasHapusSetiap orang dilahirkan untuk disayangi, bukan untuk dicaci
BalasHapusCerita yang sangat menarik dan menginspirasi agar. Kita dapat menjadi individu yang menghargai orang lain dan tidak diskriminatif
BalasHapusSangatlah menginspirasi
BalasHapusTrus berkarya
Anda berbakat
Sangat bermanfaat
BalasHapusInspiratif sekali. 👍😄
BalasHapusNice
BalasHapusMantul lanjutkan
BalasHapusBagus sekalii
BalasHapusBagus bangett
BalasHapus